Rabu, 14 Januari 2015

Taare Zameen Par, Every Child is Special


Lagi - lagi Aamir Khan memproduksi film yang membuat saya rela begadang untuk menontonnya setelah 3 Idiots. 
Pertemuan saya dengan film ini diawali dengan sekedar blog walking dan menemukan artikel dengan judul 6 Film Yang Memberi Inspirasi, dari keenam film yang disebutkan dalam artikel tersebut penulisnya mencantumkan sebuah film yang sama sekali asing untuk saya "Taare Zamen Par", menempati nomor kedua setelah 3 Idiots.
Ya, sama seperti ketika disodorkan film 3 Idiots, saya bersikap skeptis, karena seperti common sense orang Indonesia, film India identik dengan joget, nyanyi, wanita - wanita yang memakai baju seksi, atau jalan cerita yang sudah tertebak dari awal sampai akhir, hampir mirip seperti sinetron - sinetron yang tayang di Indonesia dan dibuat oleh keturunan orang India disini :D. Singkatnya roman picisan.
Tapi saya salah, setelah kagum dengan film 3 Idiots, ketika saya coba menyetel film ini dan pada detik - detik awal tahu film ini dibuat oleh Aamir Khan, saya langsung bersemangat untuk menontonnya. Bukan karena kepingin  melihat wanita seksi joget :D, pengalaman dengan 3 Idiots menghilangkan keraguan saya dan membuat rasa ingin tahu saya membuncah. There must be something special in this film.

Dan ya, Aamir Khan lagi - lagi membuat saya begadang.

Film ini singkatnya menceritakan tentang seorang anak yang mengalami disleksia, yaitu kelainan yang menyebabkan kesulitan membedakan huruf sehingga lemah dalam kemampuan membaca dan menulis bahkan berhitung sederhana. 
Inti masalah yang kelihatan sederhana, tapi sekali lagi film India yang satu ini menggambarkan keseluruhan materi cerita dengan pesan yang kuat, narasi yang cukup tajam dan to the point,  filmography  apik yang mengingatkan bahwa setiap manusia memiliki perbedaan. 

"Setiap anak memiliki keterampilan yang unik, kemampuan dan impian. Setiap anak, cepat atau lambat mereka semua akan belajar, namun dengan kecepatannya masing-masing. Every child is special."

Lebih dari itu, dalam pandangan saya pesan tersurat dari film ini sama besar dengan pesan tersiratnya.

Salah satu poin yang saya tangkap adalah, kekeliruan orang tua di zaman ini yang menganggap semua dinilai dengan angka, logis, dan menggambarkan "perhatian" yang mereka anggap sudah diberikan kepada anak - anak mereka ternyata salah, justru anak mereka tidak mendapatkan "perhatian" yang semestinya.
Doa orang tua adalah doa yang mustajab, seperti doa seorang Nabi kepada umatnya, itu yang saya yakini sebagai seorang muslim. Bagi saya, doa adalah salah satu bentuk perhatian, yang kadang dilupakan atau kurang porsinya.

Selain itu, saya ingat ketika seorang Iwan Fals yang biasanya membuat lagu - lagu dengan lirik pemberontakan, nada - nada keras dan menohok, tiba - tiba mengeluarkan album In Collaboration with  pada tahun 2003. Ketika seorang wartawan bertanya mengapa sosok Iwan yang pembangkang tiba - tiba beralih ke lagu cinta yang cenderung mendayu - dayu, ia hanya menjawab :

Saya masih berjuang dengan lagu - lagu saya, hanya saja saya sudah tua, kalau terus keras seperti itu tidak baik juga, lagipula inti lagu saya sama, tapi disampaikan dengan cinta, cinta itu bahasa yang universal dan humanis. Setiap orang pasti menerima. Singkat kata, saya memperhalus bahasa yang saya pakai.
Dan bagi saya film Taare Zameen Par ini, adalah salah satu film yang memberikan contoh, sesuatu yang diberikan tulus dan dengan cinta, akan menghasilkan sesuatu yang luar biasa.

Pastinya saya tidak akan menceritakan dengan detail plot film tersebut disini, dan saya sangat merekomendasikan film ini untuk  ditonton semua orang, orang tua atau para calon orang tua, karena "Every child is special, like stars on earth".






Read More......

Kamis, 09 Januari 2014

Kering






Tak ada oase.
Hanya padang gersang membentang
lalu doa - doa dirapalkan
memanggil guntur, mendung, angin
Hujan!
Sebentar
lalu gersang
debu pada batu - batu
menebal
menepis
angin - angin kering
lalu awan tipis
memberi teduh
sesaat

Agaknya ini kemarau lebih panjang
lalu kapan kau akan pulang?

Read More......

Selasa, 20 Agustus 2013

Persimpangan Jalan


Pilih!!
kau berkata
aku pikir...
jawabku

lalu diam
meraung.,,
memacu jantung

menggulat batin
mengurai
labirin pikiran
meramu padu
berselaput ragu

lorong lorong bercabang
cahaya-cahaya keniscayaan

Tuhan, 
aku tak hilang arah
hanya bingung
adakah tempat berlindung
yang mau kusinggahi
semalam
barang semalam

kutanya ego
hai!
masih bergemingkah kau?
padahal hujan makin deras
angin makin memilu
petir makin menggelegar

lalu dia diam
meraung.,,
memacu jantung

detik berikut
jam beringsut
aku benar benar terpaut
yang aku bisa hanyalah bersujud

hingga muncul
aku pilih.,,
jawaban terakhir
sebelum akhir

================================
*Repost

Read More......

Kamis, 30 September 2010

VoIP dalam Jaringan NAT


Beberapa waktu yang lalu, ada pelanggan kantor saya yang berniat membangun jaringan VoIP melalui jaringan internet Speedy yang mereka miliki. Setelah saya dalami ada beberapa karakteristik jaringan ADSL yang cukup mempersulit pembangunan jaringan VoIP pada sistem ini yaitu :

- Sistem kerja koneksi ADSL adalah modem / router ADSL melakukan dial up yang kemudian akan direspon oleh RADIUS untuk proses AAA (Authentication, Authorization, dan Accounting) yang akan memberikan IP Publik Dinamis (berubah ketika modem / router melakukan reboot), gateway, serta DNS

- Hanya ada satu IP Publik yang dapat diprovide. Jadi walaupun pelanggan Speedy bisa meminta agar IP Publik yang didapat oleh modem ADSL adalah IP Statik, Speedy tidak dapat menyediakan alamat IP tambahan untuk dipergunakan dibelakang modem tersebut.

Selain itu ada beberapa kendala dari konfigurasi yang ada pada jaringan pelanggan, yaitu :

- Pada modem ADSL mereka telah terdapat firewall praktis yang digunakan untuk memfilter jaringan LAN.

- Model modem ADSL yang dipakai hanya memiliki fitur standar dan tidak memilik fitur routing sama sekali dan bekerja dalam mode standar yaitu NATed LAN.


Dari beberapa poin diatas saya sempat ragu untuk memberikan solusi VoIP bagi mereka, karena jaringan VoIP dengan NAT dikenal cukup sulit dibuat, juga beberapa port yang digunakan dalam jaringan VoIP seperti SIP (5060-5061), dan RTP (dinamis 10000~20000)sangat rentan diblokir maupun tidak dapat terhubung karena proses NAT. Apalagi dengan kondisi jaringan diatas maka SIP Server yang digunakan haruslah berada pada jaringan LAN dengan ip private. Sehingga SIP Server berada dibelakang NAT, SIP User Agent (VoIP Gateway) pun berada pada dibelakang NAT.

Namun setelah berkoordinasi dengan manager dan para senior akhirnya jaringan tersebut berjalan, secara garis besar berikut langkah - langkah yang dilakukan :

1. SIP Server diberikan akses DMZ ke modem ADSL, jadi walaupun diberikan ip LAN yang sama dengan user internet biasa, SIP Server tetap memiliki kelebihan dalam hal fleksibilitas paket data.

2. Port - port yang digunakan seperti SIP (5060-5061), dan RTP (10000~20000) di masukan dalam kategori port forward dan diforward ke IP SIP Server. Kedua konfigurasi ini dilakukan pada modem ADSL, jadi pastikan ada fitur tersebut dalam modem ADSL.

3. Pastikan juga port diatas tidak diblokir oleh firewall.

4. Pada SIP Server, fitur behind NAT diaktifkan dan external IP diumpankan ke IP Publik Statis milik modem ADSL. Karena pengetahuan saya yang terbatas, saya belum menemukan fitur serupa pada SIP Server lain. Namun pada SIP Server yang saya pakai (Micronet SP5211)fitur tersebut cukup praktis dan mudah diaktifkan.

Untuk lebih jelasnya berikut topologi jaringan yang dipakai :



Berikut perangkat yang digunakan
1. SIP Server (Micronet SP5211)
2. FXO VoIP Gateway (Micronet SP5058A)
3. FXS VoIP Gateway (Micronet SP5002)


Read More......

Rabu, 18 Agustus 2010

Dirgahayu Indonesiaku


Karawang-Bekasi ~ Chairil Anwar

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

Chairil Anwar (1948)

Tiada kata lain yang pantas untuk dikemukakan pada muka artikel ini selain rasa syukur dan sembah sujud kepada Alloh SWT sebab dengan perkenannya saya dapat merasakan nikmatnya alam kemerdekaan negeri ini. Ya saya sepenuhnya sadar kemerdekaan yang saat ini dirasakan masih dibumbui berbagai hal yang kurang maupun tidak baik, sehingga arti kemerdekaan yang sebenarnya mungkin belum bisa dikecap oleh sebagian orang.

Namun hidup tenang tanpa bising peluru atau ledakan bom saja bagi saya sudah menjadi alasan untuk bersyukur, dibandingkan dengan pemuda-pemudi di negara konflik, cukuplah Indonesia menjadi tempat yang nyaman bagi saya untuk berkembang. Tidak pula saya pungkiri bahwa kenikmatan ini juga saya dapatkan berkat perjuangan para pahlawan yang telah gugur berjuang. Maka dari itu saya sisipkan puisi diatas. Puisi yang ketika saya baca akan membuat air mata saya jatuh tak tertahan. Khususnya ketika renungan suci pada malam 17 Agustus, ya, saya memang menjadi semacam penutur langganan puisi ini pada acara malam 17 Agustus untuk mempersiapkan pasukan pengibar bendera di almamater saya.
Pada malam itu kami akan merenungi makna perjuangan para pahlawan yang telah gugur, dan membayangkan kepedihan dan perjuangan mereka, tak pelak banyak diantara kami menangis. Menangis karena belum banyak yang bisa kami lakukan untuk mengharumkan nama bangsa, menangis karena begitu banyak nikmatNya yang kami rasakan diatas penderitaan mereka, menangis karena begitu banyak pekerjaan yang masih menunggu kami dalam upaya mengisi kemerdekaan.
Ya masih banyak pekerjaan yang menunggu putra - putri negeri ini beraksi, di tengah dekadensi moral, krisis kepemimpinan, dan mosi tidak percaya rakyat, untuk mengembalikan bangsa ini menjadi bangsa yang diridhoi Tuhan YME dan mampu mewujudkan cita - cita bangsa dan membusungkan dada kembali di dunia internasional. Dirgahaya negeriku, semoga Alloh SWT senantiasa melimpahkan rohmat, hidayah, dan maghfirohnya. Amiin




Read More......

Jakarta-Pelabuhan Ratu-Ujung Genteng-Jakarta (3 -Tamat)



Setelah jatuh cinta pada pandangan pertama dengan Ujung Genteng, kami segera bergegas menuju Pantai Pangumbahan, sekitar 5 km ke arah barat. Maklum kami tidak ingin melewatkan kesempatan untuk melepas tukik (anak penyu, red) yang telah menetas dan secara naluriah langsung menuju ke pantai untuk melanjutkan perjuangan keras mereka disana.

Selama perjalanan kami menjumpai beberapa pondok yang disewakan kepada pengunjung tepat di sisi jalan yang berada di bibir pantai, namun karena ketika itu bertepatan dengan libur nasional, maka hampir dipastikan pondok - pondok tersebut lumayan penuh. Kami bisa melihat banyaknya kendaraan pribadi, baik dua roda maupun empat roda dengan plat B yang telah parkir dengan rapi di halaman pondokan.

Selepas pondok - pondok itu, kami melewati beberapa daerah yang lumayan tandus, sebab hanya semak - semak yang ada di kawasan ini, pohon kelapa pun hanya terlihat satu atau dua batang dengan jarak yang berjauhan, namun karena saat itu matahari tengah beranjak ke peraduan, tetap saja siluetnya menghasilkan pemandangan yang cukup mempesona. Selain itu kami juga menjumpai para Pramuka yang tengah mengadakan acara di sisi pantai, sehingga tak pelak jalan karang dan pasir menuju Pangumbahan penuh sesak dengan lalu lalang kendaraan dan para pramuka yang hilir mudik antara tempat acara dan perkemahan. Pengemudi kendaraan harus berhati - hati melewati jalan ini karena medan jalan yang bertekstur kasar dipenuhi karang dan pasir serta semak-semak cukup membahayakan bila tidak diwaspadai.

Pukul 16.00 kami tiba di Pangumbahan, setelah mengisi buku tamu dan membayar biaya administrasi (Rp. 5.000/orang) kami putuskan untuk menunaikan Sholat Ashar sebelum beranjak ke pantai. Di komplek penangkaran sendiri terdapat beberapa bangunan, selain kantor administrasi, juga terdapat aula, mushola, kamar mandi dan beberapa pondok kecil. Bangunan - bangunan disini terlihat sudah usang, bahkan terkesan kotor, hanya beberapa pondok kecil saja yang terlihat lebih baik, mungkin karena faktor usia, karena sepertinya bangunan pondok baru dibangun. Namun fasilitas ini sudah cukup nyaman sebab relatif lebih baik dibanding Ujung Genteng yang tidak memiliki fasilitas kamar mandi sehingga harus menyewa kamar mandi self service alias menimba dari sumur di rumah penduduk setempat.

Setelah menunaikan sholat, kami bergegas menuju pantai, karena petugas setempat sudah mengisyaratkan agar kami segera mengikuti prosesi pelepasan tukik. Setelah sampai di tepi pantai, pemandangan yang disuguhkan sungguh luar biasa. Hamparan pasir putih sepanjang 1,3 km tergelar dari sisi kanan hingga jauh disisi kiri kami. Air laut jernih kebiruan berupa ombak yang saling berkejaran sangat kontras dengan warna jingga dari matahari terbenam di ufuk barat.

Di pantai itu, sudah berkumpul beberapa orang yang sama-sama ingin menikmati prosesi pelepasan tukik, kira-kira 30 orang berkerumun disekitar petugas yang membawa sekitar 20 tukik dengan wadah bak plastik. Tak lama kemudian tukik itu pun diletakkan diatas pasir, dan kontan saja semua pengunjung yang hadir tak menyiakan kesempatan untuk berfoto bersama tukik-tukik tersebut, hingga suasana sangat hiruk pikuk. Beberapa tukik pun tak sengaja terinjak, kasihan rasanya. Akhirnya saya pun memilih mengambil jarak dan melihat tukik-tukik itu menghilang dibalik ombak dari kejauhan. Bagi saya lebih baik melihat dan menikmati momen ini dari jauh daripada berusaha berfoto ria namun menyakiti tukik yang dilepaskan.



Pukul 18.00 prosesi selesai dilakukan dan seluruh tukik sudah menghilang ditelan ombak, dan kami putuskan untuk segera kembali ke pantai Ujung Genteng untuk mendirikan tenda disana. Kami mendirikan tenda tepat dibibir pantai Ujung Genteng, disebelah warung tenda penduduk setempat yang lebih dulu berdiri. Sepanjang malam tenda kami diguyur hujan yang cukup lebat, sehingga saya putuskan untuk beristirahat di dalam tenda sepanjang malam, namun beberapa kawan saya menyempatkan diri belanja ke pelelangan ikan setempat dan membuat ikan bakar. Saya pun ditawari untuk bergabung, namun karena lelah dan merasa malas untuk bangun, maka saya putuskan untuk tetap istirahat di dalam tenda hingga pagi.

Ketika saya bangun keesokan paginya, matahari sudah cukup tinggi namun awan mendung yang cukup tebal masih menggayut, hingga saat itu cuaca Ujung Genteng tak secerah kemarin. Tapi karena ini adalah hari terakhir saya berada disana, maka saya sempatkan untuk bergabung bersama kawan-kawan lain yang sudah terlebih dulu bermain di tepi pantai. Beberapa kawan memutuskan unutk berenang tapi saya lebih memilih berjalan-jalan di atas karang yang airnya surut, disana saya menemukan beberapa hewan unik seperti teripang, bulu babi, dan ikan kecil yang berwarna - warni terjebak di cekungan karang yang berair. Karena saya pernah melihat seorang presenter acara petualangan di TV memakan telur bulu babi, saya pun penasaran ingin mencoba hal tersebut, dan saya tangkap seekor bulu babi yang ada, tapi karena saya tak tahu bagaimana membuka cangkang dan menghindari duri beracunnya, akhirnya bulu babi itu saya lepaskan kembali :D.

Setelah 2 jam bermain di tepian karang, saya memutuskan kembali ke tenda. Setelah itu kami sepakat untuk bergegas sarapan dan kembali ke Jakarta. Tepat pukul 11.00 kami memulai perjalanan pulang, dan setelah 10 jam yang basah karena hujan yang tak kunjung berhenti. Pukul 21.00 saya tiba dirumah. (Selesai)





Read More......

Senin, 15 Maret 2010



Samaran

Penat merayap
Lebur mengais sisa asa
Himpitan
Desakan
Teriakan!!!

Tapi semua dalam hati
Bibirku hanya diam
Badanku bergetar

Tapi fikirku menggelora
Menghujam angkasa
kemudian
Menukik kebumi
kemudian
Menghambur dalam kerumunan
Menjelma seorang pujangga ternama
lengkap dengan pengikutnya

Dibelakang
Menunggu atau diburu?
Kaulah yang tahu.






Read More......