Senin, 30 November 2009

Menanti "Sang Pemimpi"



Mimpi, adalah kunci untuk kita menaklukkan dunia. (Nidji on Laskar Pelangi).
Ya, agaknya saya hampir seratus persen setuju bahwa mimpi-mimpi adalah awal dari perubahan yang terjadi dalam hidup, karena tanpa adanya mimpi sepertinya hidup seperti hambar tanpa garam, ia hanyalah proses yang berulang dan berulang terus tanpa adanya perubahan apalagi peningkatan. Namun mimpi yang seperti apakah yang membuat hidup kita berubah?
Menurut saya inilah inti dari novel "Sang Pemimpi", sekuel dari novel tetralogi Laskar Pelangi yang membawa Andrea Hirata Seman Said Harun menjadi salah satu penulis yang patut diacungi jempol ini berkisah tentang mimpi dan realisasi mimpi tersebut dalam hidup tiga anak asli Belitong yakni Ikal, Arai, dan Jimbron yang dikurung kemiskinan. "Tak masalah seberapa besar mimpimu, yang lebih penting adalah bagaimana mewujudkan mimpimu itu menjadi kenyataan", kutipan inilah yang menurut saya menjadi jawaban atas pertanyaan saya sebelumnya. Mimpi hanya akan menjadi angan belaka jika ia tidak diperjuangkan, namun jika sebaliknya, kita tidak akan pernah tahu kehebatan mimpi kita tersebut.
Dalam novel ini diceritakan bagaimana kisah cinta semasa SMA, kenakalan-kenakalan remaja, pencarian jati diri selama remaja mewarnai realisasi mimpi Ikal, Arai, dan Jimbron. Secara pribadi, Sang Pemimpi adalah buku favorit saya dibanding ketiga buku lain dalam tetralogi yang ditulis oleh Andrea Hirata, maklum bagi saya yang masih seusia dengan karakter yang hidup pada novel tersebut, hal-hal kecil dan pernak pernik tersebut menjadi begitu terasa dan benar-benar hidup karena saya pun merasa sedang mengalaminya. Lebih dari itu, kenyataan yang begitu pahit dalam novel itu membuat saya terkadang menangis, seperti ketika Ikal menjemput sang lone ranger-nya alias Arai di rumah panggung Arai yang hampir roboh. Bagaimana Ikal begitu sedih ketika membayangkan penderitaan Arai yang ditinggal seluruh garis keluarganya dan mendapat status simpai keramat, saya bisa membayangkan pedihnya ditinggal oleh orang yang kita kasihi seperti orang tua, namun diceritakan betapa legawa atau besar hatinya Arai menghadapi kenyataan tersebut. Miris. Hanya itu yang bisa saya katakan.
Buku ini juga menjadi salah satu buku yang memberi saya motivasi dan membuka mata saya terhadap pendidikan formal yang saya terima selama ini. Bagaimana manusia-manusia dengan segala fasilitas yang terbatas dan lingkungan yang sepertinya tidak memihak pada pendidikan tinggi, bisa melanjutkan kuliah tak tangung-tanggung, yaitu ke Universitas Sorbonne Perancis. Buku ini melecutkan hati saya bahwa mimpi itu bisa begitu hebat dan bisa mengubah sesuatu yang kelihatan mustahil menjadi hal yang nyata.
Saya sampai merasa malu pada diri saya sendiri, sebab segala fasilitas pendidikan dan lingkungan yang begitu mendukung saya di Jakarta ini, belum cukup untuk meninggikan impian saya hingga sehebat mimpi Ikal dan Arai. Maka, setelah mebaca buku ini, saya menjadi sadar bahwa mungkin seharusnya saya bisa lebih baik daripada diri saya sekarang. Dan berbekal keinginan dan motivasi yang kuat, pada bulan lalu saya mencoba melamar sebuah lowongan beasiswa dari pemerintah Jepang, saya ceritakan mimpi-mimpi saya pada saat mengisi formulir. Saya ceritakan bagaimana saya ingin mengubah Indonesia menjadi lebih baik, bagaimana saya mengagumi budaya kerja keras dan rasa malu yang dimiliki oleh bangsa Jepang, kemudian saya kumpulkan formulir tersebut. Kemudian karena kesibukan kerja, saya lupa bahwa saya pernah melamar beasiswa tersebut, lagipula saya pun merasa sepertinya saya tidak akan lolos untuk ke seleksi berikutnya. Ternyata saya salah, dua minggu kemudian saya ditelpon oleh kedutaan Jepang untuk mengikuti tes tertulis beasiswa tersebut. Rasa senang, takut, deg-degan bercampur baur dalam diri saya pada saat itu, sebab waktu tes tertulis tinggal 2 minggu lagi, sedangkan sudah hampir 1 tahun saya tidak belajar pelajaran eksakta SMA karena semenjak lulus saya langsung bekerja, kemudian umur saya sudah berada pada batas akhir pelamar beasiswa, maka tahun berikutnya saya tidak akan bisa melamar beasiswa ini kembali . Alhasil, tes beasiswa kali itu adalah yang pertama dan terakhir bagi saya, maka dengan kemampuan seadanya saya tetap mengikuti tes tersebut. Dan hasilnya, gagal.
Saya kecewa sekali dengan hasil tersebut, namun saya berusaha menerimanya secara positif. Mungkin saya belum mampu menghadapi kerasnya hidup sendiri di negeri orang. Dengan kemampuan bahasa terbatas dan tantangan dalam beribadah (beberapa kawan mengingatkan betapa susahnya untuk mengerjakan sholat di negeri matahari terbit tersebut) saya akhirnya bisa mengambil sisi positif kegagalan saya. Namun yang ingin saya tekankan adalah saya berani bermimpi dan berusaha merealisasikan mimpi itu. Saya berharap ini tidak menjadi halangan saya untuk kembali bermimpi untuk belajar ke Jepang. Apalagi dalam waktu dekat ini Miles Production juga akan merilis film sekuel Sang Pemimpi. OST Film ini diisi oleh Gigi dan Ungu, dan aktor yang bermain dalam film ini pun bisa dikatakan "Indonesian All Stars", karena selain diperankan oleh pendatang baru, banyak pula aktor dan aktris kawakan yang bermain dalam film ini, sebut saja Mathias Muchus, Rieke Dyah Pitaloka, Lukman Sardi, bahkan adapula musikus seperti Nugie dan Nazril Ilham atau lebih dikenal sebagai Ariel "Peterpan". Sebuah film yang layak dan patut ditonton di musim libur Desember ini :D dan agaknya saya akan menunggu "Sang Pemimpi" tersebut untuk melecutkan mimpi saya kembali dan berjuang lebih keras daripada sebelumnya untuk merealisasikannya. Amiiin.


0 komentar: