Rabu, 18 Agustus 2010

Dirgahayu Indonesiaku


Karawang-Bekasi ~ Chairil Anwar

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa

Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan

Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata

Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak

Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir

Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian

Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi

Chairil Anwar (1948)

Tiada kata lain yang pantas untuk dikemukakan pada muka artikel ini selain rasa syukur dan sembah sujud kepada Alloh SWT sebab dengan perkenannya saya dapat merasakan nikmatnya alam kemerdekaan negeri ini. Ya saya sepenuhnya sadar kemerdekaan yang saat ini dirasakan masih dibumbui berbagai hal yang kurang maupun tidak baik, sehingga arti kemerdekaan yang sebenarnya mungkin belum bisa dikecap oleh sebagian orang.

Namun hidup tenang tanpa bising peluru atau ledakan bom saja bagi saya sudah menjadi alasan untuk bersyukur, dibandingkan dengan pemuda-pemudi di negara konflik, cukuplah Indonesia menjadi tempat yang nyaman bagi saya untuk berkembang. Tidak pula saya pungkiri bahwa kenikmatan ini juga saya dapatkan berkat perjuangan para pahlawan yang telah gugur berjuang. Maka dari itu saya sisipkan puisi diatas. Puisi yang ketika saya baca akan membuat air mata saya jatuh tak tertahan. Khususnya ketika renungan suci pada malam 17 Agustus, ya, saya memang menjadi semacam penutur langganan puisi ini pada acara malam 17 Agustus untuk mempersiapkan pasukan pengibar bendera di almamater saya.
Pada malam itu kami akan merenungi makna perjuangan para pahlawan yang telah gugur, dan membayangkan kepedihan dan perjuangan mereka, tak pelak banyak diantara kami menangis. Menangis karena belum banyak yang bisa kami lakukan untuk mengharumkan nama bangsa, menangis karena begitu banyak nikmatNya yang kami rasakan diatas penderitaan mereka, menangis karena begitu banyak pekerjaan yang masih menunggu kami dalam upaya mengisi kemerdekaan.
Ya masih banyak pekerjaan yang menunggu putra - putri negeri ini beraksi, di tengah dekadensi moral, krisis kepemimpinan, dan mosi tidak percaya rakyat, untuk mengembalikan bangsa ini menjadi bangsa yang diridhoi Tuhan YME dan mampu mewujudkan cita - cita bangsa dan membusungkan dada kembali di dunia internasional. Dirgahaya negeriku, semoga Alloh SWT senantiasa melimpahkan rohmat, hidayah, dan maghfirohnya. Amiin




0 komentar: